Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 21 September 2021, saya mengikuti sebuah webinar yang diadakan oleh Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kemenbudristek. Webinar ini bertema Perempuan-Perempuan Penjaga Tradisi. Ada empat perempuan yang menjadi narasumber, yaitu GKR Mangkubumi (Pelestari Tradisi Keraton Yogyakarta), Ibu Poniyem atau Sipon (Pelestari Batik Klaten), Ibu Rosvita Sensiana (Pelestari Tenun Ikat Sikka, Maumere, NTT), dan Ibu Rahmi Hidayati (Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya). Para narasumber ini bercerita tentang betapa pentingnya menjaga sebuah tradisi yang ada di sekitar mereka dan bagaimana mereka berperan dan berjuang untuk menjaga tradisi tersebut.
Lain lagi cerita Ibu Poniyem, yang akrab dipanggil Sipon. Beliau adalah pemilik batik Retno Mulyo dari Klaten. Sebelum mendirikan batik Retno Mulyo, Ibu Sipon pernah bekerja selama 41 tahun di batik Danar Hadi, Solo. Menurut Ibu Sipon, batik adalah hasil karya bangsa Indonesia yang merupakan perpaduan seni dan teknologi. Corak dalam batik penuh makna dan filosofi, yang digali dari berbagai adat dan budaya Indonesia. Selain motif ekonomi dan lingkungan, Ibu Sipon melestarikan batik karena memang beliau cinta akan batik dan berusaha untuk menjaga warisan budaya Indonesia.
Ibu Rosvita Sensiana dari Maumere bercerita tentang tenun ikat, salah satu tradisi khas masyarakat NTT. Ibu Rosvita adalah ketua kelompok tenun ikat Watubo. Awal kecintaan Ibu Rosviana pada tradisi NTT bermula ketika pada tahun 1988, ayahnya mendirikan sanggar Bliran Sina, sebuah sanggar tari dan musik. Ketika berusia 9 tahun, Ibu Rosviana bergabung dengan sanggar itu. Pada tahun 2014, Ibu Rosviana mendirikan Watubo, sebuah kelompok tari, musik, dan tenun ikat. Menurut Ibu Rosviana, tenun ikat tidak bisa dilepaskan dari kehidupan perempuan sejak lahir sampai kematian. Tenun ikat juga menopang perekonomian keluarga. Saat ini di Sikka, ada 52 motif tenun ikat. Semua punya makna filosofi dan cerita sendiri-sendiri. Sebelum megerjakan, para penenun harus belajar arti motif yang akan ditenunnya. Ibu Rosviana mengajak para mama menenun untuk menggali dan melestarikan budaya leluhur, serta mengenalkan tenun ikat pada masyarakat luas.
Tak kalah seru, cerita Ibu Rahmi tentang perjuangan beliau untuk melestarikan pemakaian kebaya oleh para perempuan Indonesia. Seperti kita tahu, kebaya sudah diresmikan sebagai salah satu busana nasional Indonesia. Untuk melestarikan pemakaian kebaya, Ibu Rahmi mendirikan komunitas Perempuan Berkebaya. Setiap bepergian, Ibu Rahmi hampir selalu mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi maupun pakaian sehari-hari. Setiap pergi ke luar negeri, beliau selalu berusaha untuk mengadakan diskusi dengan warga setempat tentang pemakaian kebaya. Tak hanya itu, Beliau bahkan memopulerkan bagaimana kebaya bisa dia kenakan saat naik gunung. Wow, kebayang, kan, betapa ribetnya naik gunung dengan berkain dan kebaya! Eh, tetapi, kata Ibu Rahmi, kalau sudah terbiasa, berkain dan berkebaya saat naik gunung enggak ribet, kok. Buktinya, beliau dan putrinya sering melakukannya. Luar biasa!
Untuk mendengar lebih lengkap tentang cerita para narasumber ini, teman-teman bisa meluncur ke sini.
Mendengar pemaparan para perempuan ini saya jadi ingin bercerita tentang salah satu buku saya, Kejutan untuk Mama. Bisa dikatakan, Kejutan untuk Mama juga bercerita tentang Perempuan Penjaga Tradisi. Buku ini bercerita tentang Elsa, seorang anak perempuan dari Flores. Mama Elsa adalah seorang penggerak tradisi tenun ikat di desanya. Beliau menggerakkan para mama di desanya untuk menenun. Beliau juga mengajari Elsa menenun. Namun, bagi Elsa, menenun itu sulit. Dia tidak suka. Elsa lebih suka bermain bersama teman-temannya.
Nah, waktu sedang berkunjung ke Danau Kelimutu, Elsa dan teman-temannya melihat para mama yang menjajakan kain tenun ikat. Dari situlah Elsa sadar, ternyata tenun ikat luar biasa indah. Elsa pun mencoba untuk belajar menenun pada Mama Martha, adik mamanya. Dalam buku ini diceritakan betapa tidak mudah bagi Elsa untuk belajar menenun. Kadang motifnya berantakan, benangnya kusut, dan berbagai permasalahan lain. Namun, Elsa terus berusaha.
Ngomong-ngomong, kenapa nggak belajar tenun sama mamanya saja? Ssst, soalnya Elsa punya kejutan untuk mamanya! Kejutan apa, ya? Ah, baca saja ceritanya di sini!
Buku Kejutan untuk Mama ini saya tulis saat mengikuti kegiatan GLN tahun 2019 yang diadakan oleh Kemendikbud. Saat itu, salah satu tema yang ditawarkan adalah tentang kesenian. Ide ceritanya berasal dari perjalanan saya ke Flores beberapa tahun silam. Saya terpesona dengan keindahan tenun ikat Flores. Saat saya melihat foto-foto perjalanan waktu itu, tercetuslah ide ini. Bahkan, untuk ide kover dan beberapa gambar di dalamnya pun mengambil foto-foto perjalanan saya.
Oya, nama Elsa yang saya pakai sebagai tokoh utama dalam buku ini saya ambil dari nama teman kuliah saya yang berasal dari NTT. Sayang, sejak lulus kuliah, saya belum pernah bertemu lagi dengan Elsa.
Untuk membuat buku ini, saya bekerja sama dengan Tshiu Ha, teman saya yang mantan illustrator Majalah Girls, Gramedia. Dulu Tsiu juga sering menggambar cerita-cerita di Majalah Bobo dan Kompas Anak. Kerja bareng Tshiu itu asyik. Tshiu bisa menggambar dengan telaten, gambarnya cantik dan lembut. Yang jelas, Tshiu enak dan gampang diajak berkomunikasi, serta taat deadline! Itu penting banget ketika mengerjakan buku-buku dengan deadline ketat seperti ini.
Indonesia memang sangat kaya dengan tradisi. Yuk, kita jaga tradisi di sekitar kita, supaya generasi penerus kita bisa menikmatinya!
butuh ketekunan dan konsentrasi yang baik juga ya mba kalau menenun, kalo benangnya tiba-tiba nyangkut jadi repot benerinnya :") tapi aku salut sama kerajinan tenun begini, kebetulan sempet dateng ke tempat pengrajin tenun kain troso di Jepara, pegawainya telaten-telaten bangeet. rapi hasilnya.
BalasHapusBetul, Mbak Dian, butuh ketekunan, ketelatenan, dan kesabaran untuk menenun. Aku juga salut dan kagum sama ibu-ibu penenun tradisional ini. Makanya, tradisi tenun tradisional harus dipertahankan, ya....
HapusWah aku kalau nenun begini lebih banyak nggak sabarnya, aku salut sama mereka-mereka yang sabar dan telaten dalam hal menenun, memang wanita keren. Pengen coba nenun tapiiii duh pasti susah selesainya nih kalau aku 🤣🤣
BalasHapusAku suka Mbak, lihat kain-kain tradisional semacam batik dan tenun. Tapi kalau disuruh membatik atau menenun, mungkin harus berjuang untuk menjaga ketekunan dan kesabaran. Pengennya cepat-cepat lihat hasilnya, hehe... Makanya, aku juga salut dan kagum pada para perempuan hebat ini.
HapusWah acaranya menarik banget ya mbak belajar langsung dari para perempuan penjaga tradisi, keren banget dedikasi mereka untuk melestarikan budaya bangsa, selamat untuk bukunya ya Mbak Vero, webinar ini bisa jadi bahan dan ide cerita untuk buku anak selanjutnya yaa
BalasHapusIya, betul, Mbak. Seru, mendengarkan cerita para perempuan hebat ini.
HapusMakasih, Mbak. Buku lama, cuma kebetulan temanya pas dengan webinar ini.
Wah asyik banget kegiatannya mba...ini salah satu hal yang pengen banget aku coba, menenun...
BalasHapusWow... ayo Mbak, coba menenun. Waktu saya kecil, di dekat rumah Nenek ada yang punya alat tenun tradisional. Saya suka lihat orang menenun, seneng dengerin suara gojlek-gojleknya. Sayang, sekarang udah ga ada lagi.
Hapus