“Aku bosan di rumah. Aku pengen sekolah. Aku pengen ketemu teman-teman.”
Mendengar keluhan itu, aku hanya bisa mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Aku tak bisa lagi meminta anak-anak bersabar, karena stok kesabaran mereka sudah menipis, bahkan mungkin habis.
Pandemi Covid-19 seolah
menjungkirbalikkan segala kegiatan dan impian. Anak-anak yang baru
senang-senangnya sekolah, tiba-tiba harus diam di rumah. Seharusnya mereka
sedang asyik berlarian ke sana kemari, berkejaran dengan teman-teman, bukan
hanya bercakap lewat papan persegi seluas layar ponsel atau laptop. Aku yang
biasa bekerja saat anak-anak sekolah, tiba-tiba harus siap 24 jam untuk menjadi
guru sekolah mereka. Beberapa kontrak dan project pun
terpaksa dibatalkan. Hufff, rasanya terpuruk,
benar-benar terpuruk.
Tetapi, hidup harus
terus berjalan. Kita tak bisa hanya menyerah pada keadaan. Otak
harus terus berputar. Pasti ada solusi untuk setiap
permasalahan.
Aku berjalan menuju
rak buku. Jari-jariku menelusuri judul-judul buku yang berderet. Hup, ketemu!
Kuambil dua buku, satu novel untuk si
sulung, satu buku bergambar untuk si bungsu.
“Wow, gambarnya lucu!” si Bungsu tak mau kalah.
Beruntung, aku pernah bekerja di sebuah perusahaan media. Akses untuk mendapatkan buku-buku bagus
dan bermutu cukup mudah. Kebetulan pula, aku menyukai
buku-buku anak,
terutama terbitan Gramedia Pustaka Utama. Bagiku, Gramedia
Pustaka Utama adalah salah satu penerbit dengan buku-buku yang jaminan mutu.
Aku tumbuh besar bersama buku-buku Gramedia Pustaka Utama, seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, STOP,
Mallory Towers, dan sejenisnya. Buku-buku itu membuat imajinasiku menjadi kaya. Saat bersantai di teras rumah, aku bisa membayangkan sedang duduk-duduk di Bukit Billycock sambil minum limun segar ala Lima Sekawan. Saat memanjat pohon jambu di halaman rumah Eyang,
aku bisa membayangkan Pip, personil Pasukan Mau
Tahu, yang sedang mengintip kamar tersembunyi yang penuh misteri. Ah, buku-buku
itu membuat hidupku terasa indah dan penuh warna. Maka, aku pun ingin berbagi
warna pada anak-anakku.
“Ibu, mana lanjutan
Mallory Towers?” tanya si Sulung. Masa pandemi
di rumah saja membuat dia mempunyai lebih banyak waktu
luang. Cepat sekali dia membaca buku-buku cerita
yang kusodorkan. Awalnya, aku sempat berpikir, jangan-jangan anak ini asal baca.
Tetapi, waktu kusuruh dia menceritakan ulang isi buku yang dia baca, bisa tuh! Hebat!
Waktu berlalu. Buku bisa mengalihkan kegalauan anak-anak saat mereka tidak bisa ke mana-mana. Aku jadi lebih sering melihat si sulung pegang buku. Karya-karya lama Enid Blyton, Roald Dahl, dan Jacqueline Wilson jadi favoritnya. Tetapi, tetap saja aku selalu berpesan, tugas-tugas sekolah harus dibereskan terlebih dahulu.
Si Bungsu tak mau
kalah. Dia makin sering merongrongku untuk membacakan
buku. Aku harus menyisihkan lebih banyak waktu untuk mendampinginya membaca
buku. Capek? Memang! Tapi, hasilnya cukup menakjubkan. Si Bungsu tiba-tiba jadi pintar membaca sendiri. Dia
cepat menghafal huruf-huruf, cepat membaca sepatah demi sepatah kata, lalu
tiba-tiba sudah bisa membaca satu cerita dengan lancar. Aku hanya sedikit-sedikit membantu, mendampingi, dan
memotivasinya. Dia
paling suka buku-buku bergambar karya
Clara Ng, seperti
Mau Lagi, Lagi, Lagi! dan Gaya Rambut Pascal. Wuih, ajaib memang, dampak membaca buku pada
anak-anakku.
Hingga suatu hari, si sulung mendekatiku. “Ada buku lain
enggak, Bu? Yang bagus-bagus sudah kubaca semua. Ada yang sampai berkali-kali
kubaca.”
Hmmm! Aku masih enggan untuk membawa anak-anak pergi-pergi, termasuk ke toko buku. Bisa saja, sih, belanja buku online. Tetapi, efek pandemi membuat budget untuk membeli buku turun di urutan nomor sekian.
Untuk beberapa waktu, aku kembali aman dari rongrongan buku bacaan baru dari si Sulung. Tetapi, ini tak akan bertahan lama. Aku harus cari cara yang lebih seru. Kuajari si Sulung meresensi buku. Awalnya, dia bilang tidak bisa. Kuminta dia menceritakan isi sebuah buku. Dia bisa menceritakannya dengan lancar. “Nah, tulislah yang kamu ceritakan tadi,” pintaku. Hasilnya? Bagus!
“Ini bisa di-posting di instagram, biar isi instagram-mu lebih bermanfaat,” usulku. Dia setuju.
Jadilah, beberapa
resensi dia unggah. Banyak yang masih tersimpan di laptop.
“Kenapa tidak diposting?” tanyaku.
“Belum sempat
motret,” ujarnya sambil mengangkat bahu.
Tak apa-apa. Yang
penting, dia tetap semangat untuk meresensi buku-buku yang sudah dia baca. Kadang, kami juga bersama-sama mendiskusikan isi
buku-buku yang kami sukai. Paling seru, ketika kami berlomba membaca sebuah buku yang sama. Tak jarang, si
Sulung juga membantu membacakan buku untuk adiknya.
Ah, indahnya kebiasaan
baru anak-anakku bersama buku-buku.
Setahun, pandemi belum berlalu. Kita tak bisa hanya diam dan termangu. Kita harus tetap bangkit dan maju. Harus ada langkah-langkah baru. Kita bisa, harus bisa, beradaptasi dengan kebiasaan di masa yang baru ini.
Memang paling asyik membunuh kebosanan itu dengan baca, aku pun merasakan excited dan asyiknya baca buku seperti si sulung dan bungsu~ sampe aku baca berulang kali saking asyiknya~
BalasHapusIya, Mbak. Kita kaum pembaca. Paling asyik, ya, baca buku :D
HapusBukunya ternyata bisa diwariskan juga ya. Seneng lihat anak2 sudah senang membaca buku bahkan request buku lainnya. Namun saat ini saya menjadi perhitungan utk beli buku karena memerlukan space sedangkan rumah tetap sama ukurannya. Joka ada ebook saat ini lebih baik memilih itu, namun memang kurang cocok utk anak2.
BalasHapusKalau seleranya sama, bisa diwariskan, Mbak. Tapi kadang ketemu yang beda juga, misalnya saya suka Lima Sekawan, anak saya enggak.
HapusKalau saya, biasanya kalau lemari buku mulai penuh, saya pilih beberapa buku untuk dihadiahkan.
asyik banget sih, mbak. jadi makin pengen ini nyicil nambah koleksi buku, biar nanti kalau udah punya si kecil, udah lumayan ada buku2 anak. soalnya buku anak biasanya butuh lebih banyak buat nebusnya, hahahaha
BalasHapusSetuju, Mbak! Saya dulu juga belum punya anak, tapi kadang beli buku anak. Awalnya buat koleksi pribadi. Setelah ada anak-anak, turun ke mereka 😁
HapusLuar biasa ya Mbak GPU sudah 47 tahun ya, Buku-bukunya memang bermutu, kesukaanku Agatha Christie, Jacqueline Wilson dan Enid Blyton terjemahan GPU...keren anak-anak maraton baca yaa..
BalasHapusIya, Mbak. Hebat, ya, bisa bertahan jadi salah satu yang terbaik sampai umur 47.
HapusHehe... yang maraton anaknya, yang terengah-engah ibunya 😁😁
Aku juga mulai ngajarin haura untuk suka baca buku... Dibuatin pojok baca... Betah dia disitu...
BalasHapusSeneng ya, Mbak, lihat anak-anak suka baca. Berasa banget manfaatnya.
Hapus