Aira susah payah menarik koper dengan tangan kanannya. Roda-roda koper itu mulai macet karena terlalu sering ditarik.
“Aira, buruan!” Seorang ibu berumur 40 tahunan menarik tangan kiri Aira.
“Sebentar, Mama! Rodanya macet, berat.”
“Mama bilang juga apa! Kamu di Flores cuma seminggu, ngapain bawa barang banyak-banyak?”
Aira tak mau membantah lagi. Tentu saja dia membawa banyak barang. Dia sudah lama tidak bertemu Elsa, sepupunya. Dia membawakan banyak hadiah buat Elsa. Juga, buku-buku cerita untuk koleksi perpustakaan kecil Elsa.
Aira dan mamanya akan berangkat ke Flores. Kebetulan, Mama Aira mendapat tugas kantor ke Larantuka selama seminggu. Aira ikut, tetapi tidak sampai ke Larantuka. Aira hanya sampai Maumere, lalu akan dijemput oleh Om Edo, adik Mama. Mereka langsung menuju Kampung Moni di Kota Ende, tempat Om Edo tinggal. Aira belum pernah ke sana. Makanya, Aira bersemangat dengan perjalanan panjangnya hari itu.
Pesawat membawa Aira terbang dari Jogja menuju Bali. Setelah transit satu jam, Aira terbang lagi dengan pesawat lain menuju Maumere.
“Sayang, ya, Ma, di Bali cuma satu jam. Coba transitnya seharian, kita bisa jalan-jalan dulu. Paling enggak, ke pantai Kuta yang dekat bandara.”
“Ah, di lain waktu, kita liburan ke Bali saja. Biarpun seharian di Bali, tidak akan puas, Aira. Paling enggak seminggu, biar puas jalan-jalannya.”
“Serius, Ma?”
Nyanyian di Balik Kabut (1), diilustrasi oleh Jenny. |
“Enggak! Hi hi hi.”
Aira senang punya Mama yang suka bercanda. Bersama Mama, dunia seakan berisi orang bahagia semua. Tetapi, kalau Mama sudah mulai ngantuk, ah, menyebalkan. Mama akan tertidur dengan mudahnya. Aira jadi tak punya teman ngobrol.
“Pergi ke Maumere?” tanya seorang turis asing yang duduk di kanan Aira.
Aira menoleh, lalu tersenyum. “Yes. Then I continue my journey to Ende.”
Gadis asing itu tersenyum, terlihat manis sekali. Aira menaksir umurnya, sekitar 25 tahun.
“Bahasa Inggris kamu bagus,” puji gadis itu dengan bahasa Indonesia terbata-bata.
“Thank you! Your Indonesian is also very good.”
Mereka berdua tertawa. Aira melirik ke kiri. Mama tidur pulas. Untung ada Jeany yang menemaninya mengobrol. Lucunya, Aira berbicara dengan bahasa Inggris, sementara Jeany berbahasa Indonesia.
Jeany berasal dari Denmark. Namun, dia sering ke Indonesia. Kemarin, dia baru menghabiskan waktu seminggu di Bali. Seminggu ke depan, dia akan menjelajah Flores. Karena sering ke Indonesia, Jeany pintar berbahasa Indonesia.
“Haaa, Moni! Besok saya ke sana. Hari ini saya mengunjungi teman di Maumere!”
Perjalanan selama hampir dua jam tak terasa lama bagi Aira. Tahu-tahu, pramugari mengumumkan kalau mereka akan segera mendarat di bandara Frans Seda. Aira membangunkan mamanya.
“Sampai jumpa, Aira!”
“See you, Jeany!”
Sebelum berpisah, Jeany menyelipkan sesuatu di waku baju Aira. “Good luck!” bisiknya.
“Thanks.”
Aira segera sibuk dengan bawaannya, sehingga tak sempat menengok barang yang diselipkan Jeany.
Dulu Bandara Waioti, sekarang Bandara Frans Seda. |
“Minggu depan, Mama jemput ke Moni, ya!”
Aira melambaikan tangan, lalu segera masuk mobil. Kata Om Edo, perjalanan dari Maumere ke Moni makan waktu 3-4 jam. Awalnya, Aira menikmatinya. Lama-lama, dia mengantuk.
Tiba-tiba, Aira ingat barang pemberian Jeany. Aira mengeluarkan isi saku. Dia heran melihat setangkai bunga kamboja di tangannya.
“Apa itu, Aira?” tanya Om Edo.
“Pemberian seorang teman di pesawat. Katanya, untuk keberuntungan.”
“Oh, kamboja berkelopak enam, ya?”
Aira menghitung kelopak bunga kamboja di tangannya. Betul, enam.
“Banyak orang percaya kalau kamboja berkelopak enam adalah lambang keberuntungan. Temanmu dari Bali? Ah, di Bali, kan, banyak bunga kamboja yang biasa dipakai untuk sesaji ….”
Om Edo bercerita panjang lebar. Aira sampai tertidur mendengar cerita Om Edo. Tahu-tahu, mereka sudah sampai.
Senja di Pantai Waiara, Maumere. |
“Aira!” Elsa menjerit-jerit heboh menyambut kedatangan Aira. Aira langsung berlari dan memeluk sepupunya.
“Tadinya aku mau ikut menjemputmu. Tetapi, hari ini aku masih sekolah. Baru besok aku libur,” jelas Elsa.
“Besok aku bisa mengantarmu ke Kelimutu!”
Aira jadi tak sabar. Dia sering membaca dan melihat foto-foto Kelimutu. Aira penasaran dengan danau tiga warna yang punya banyak cerita itu.
“Tunggu saja, sampai kau mendengar sendiri kicau burung arwah.”
Deg! Burung arwah? Baru kali ini Aira mendengar nama burung seaneh itu. Tiba-tiba, Aira merasa merinding!
(bersambung)
- cerita ini dimuat di Majalah Bobo No. 33/XLII
Kakak q suka sekali sama cerita yg kakak tulis, pertama kali baca di majalah bobo edisi 34, itu bagian kedua, karena penasaran dg kelanjutan ceritanya q sampai cari2 majalah bobo bekas edisi berikutnya tp nggak ketemu, ternyata ada diblognya penulisnya langsung seneng banget 🥰 Semangat terus ya kak dalam berkarya 😊
BalasHapusSalam kenal, Farida. Terima kasih, sudah mampir ke sini dan menyukai cerita ini. Amin. Makasih kiriman semangatnya ^^ Semangat dan sukses terus untuk Farida, yaaa....
Hapus